Kongres G20 China, Presiden Jokowi Diharapkan Dapat Perjuangkan Daya Saing Bangsa



( 2016-09-06 04:02:42 )

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo atau biasa disebut dengan Jokowi, mengikuti forum pertemuan puncak G20 di China selama dalam dua hari, 4-5 September 2016. Karena itu, dalam pertemuan tersebut Jokowi diminta agar dapat memperlihatkan sikap Indonesia dalam pengembangan daya saing Indonesia.

Menurut Advokasi Manager Indonesia for Global Justice (IGJ), Suliadi, dalah satu NGO yang tergabung dalam Forum Masyarakat Sipil Indonesia dalam rencana mempererat daya saing bangsa ini, pemerintah harus dapat melaksanakan reformasi struktural di dalam perdagangan dan investasi. “Dengan begitu kehadiran Presiden Jokowi di forum G20 itu harus digunakan untuk perjuangkan kepentingan Indonesia dalam memperkuat daya saing, bukan melemahkannya,” kata Suliadi, di Jakarta pada Senin (05/09).

Sepanjang ini, kata Suliadi, program peningkatan daya saing Indonesia telah berjalan, seperti penerapan aturan kewajiban hilirisasi produk industri, kewajiban penggunaan produk lokal melalui TKDN, dan pembatasan impor bahan baku. “Kebijakan ini tentu harus sejalan dengan semangat memperkuat pembangunan daya saing industri nasional menghadapi era keterbukaan,” jelasnya.

Dengan demikian, menurut Suliadi, arah reformasi struktural perjanjian perdagangan dan investasi jangan sampai menjadi ancaman bagi strategi atau rencana pengintensifan daya saing nasional. Salah satu yang wajib diwaspadai ialah terkait metode Investor-State Dispute Settlement (ISDS). Jika tidak diperhitungkan maka akan berdampak terhadap menyempitnya ruang kebijakan pemerintah melawan korporasi internasional.

Selain itu, dia menegaskan, kehadiran Jokowi di G20 juga harus dapat mengkaji urusan ketimpangan sosial, baik itu di dalam negeri maupun antar negara. Apalagi, target pertumbuhan ekonomi global sebesar 2 persen dalam lima tahun terakhir yang menjadi target G20 haruslah menempatkan pembangunan manusia, kesetaraan gender, dan keberlanjutan lingkungan sebagai prioritas. “Karena tidak ada gunanya pertumbuhan yang tinggi jika hanya dinikmati oleh segelintir orang,” ucapnya.

Terlebih lagi berdasarkan dari penelitian telah menampakkan dalam sepuluh tahun terakhir, kesenjangan baik di dalam negeri maupun kesenjangan antar negara semakin meluas. Hal itu menandakan pertumbuhan semata tidak akan menjawab masalah pembangunan.

Namun sayangnya, kata dia, selama ini dalam mengurangi kesenjangan dan memperjuangkan penerapan pembangunan berkelanjutan (SDGs), marak terjadi perjanjian internasional yang berorientasi pada perlindungan investasi tanpa memperhatikan pemenuhan hak-hak masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. “Juga masih ada praktik-praktik pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif yang banyak dialami oleh negara-negara miskin dan berkembang;” terang dia.

Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah melanjutkan, Indonesia juga harus mengutarakan kembali komitmen G20 dalam implementasi transparansi beneficial ownership. Studi ONE di tahun 2014 memperlihatkan tidak adanya pengungkapan beneficial ownership yang jelas telah berakibat kerugian yang diderita satu negera, termasuk Indonesia. “Sebanyak US$ 1 triliun hilang per-tahunnya atau sekitar Rp10 ribu triliun di negara berkembang sebagai hasil tindak pidana ilegal dari deal lintas negara,” katanya mengakhiri.