Ketahanan Rupiah DI Tengah Terpaan Gejolak Global



( 2016-09-27 08:55:37 )

Nilai tukar rupiah kembali pulih setelah sempat berada di titik paling rendah sejak krisis 1998 pada akhir September tahun lalu. Rupiah bahkan masuk ke dalam mata uang yang kinerjanya paling baik di Asia saat ini. Namun demikian, rupiah masih rentan terhadap risiko naiknya suku bunga Amerika Serikat (AS). Daya tahannya juga masih bergantung pada keberhasilan pemerintah menarik pulang kembali modal dari luar negeri.

Semakin baiknya kinerja rupiah ini didukung oleh beberapa faktor fundamental domestik. DBS Group Research mencatat bahwa kepercayaan investor semakin meningkat seiring dengan perbaikan produk domestik bruto (PDB) yang telah kembali pada level 5% pada kuartal IV-2015.

Menurunnya tingkat inflasi menjadi 3% hingga 5% mulai November 2015 juga mendorong Bank Indonesia lima kali menurunkan suku bunga sepanjang 2016 ini. Investor asing pun telah meningkatkan kepemilikan obligasi negara menjadi 5,4% terhadap PDB pada semester I-2016 dari 4,8% pada akhir 2015.

Disamping itu, defisit neraca transaksi berjalan stabil di level 2,1% terhadap PDB pada kuartal IV-2015. Walau negatif, namun ada perbaikan neraca yang mengindikasikan tekanan terhadap ekspor sudah berkurang. "Faktor-faktor ini yang telah berkontribusi pada ketahanan rupiah selama periode volatilitas global tahun ini," ujar Philip Wee yang merupakan ekonom senior DBS Group Research, pada risetnya yang berjudul "IDR—towards further resilience."

DBS Group Research menurunkan proyeksi rentang perdagangan rupiah terhadap dolar antara 5,5% sampai 6,1%. Dolar AS pun diprediksi tidak akan mencapai lebih dari Rp14 ribu untuk satu tahun ke depan. Namun demikian, rupiah tidak berarti kebal terhadap pergerakan mata uang global. Contohnya saat Tiongkok mendevaluasi mata uangnya pada Januari tahun ini, rupiah kembali terdepresiasi. Begitu pula ketika rakyat Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit) pada Juni lalu.

DBS Group Research menilai kerentanan likuiditas Indonesia memang telah berkurang dibandingkan sebelumnya. Akan tetapi, rencana naiknya suku bunga AS tetap memberi pengaruh pergerakan rupiah ke depan. Faktor utama resikonya berasal dari utang luar negeri yang terus meningkat serta cadangan devisa yang terbilang rendah. "Tekanan jual terhadap rupiah dapat kembali lagi jika utang luar negeri jangka pendek dan defisit transaksi kembali berjalan memburuk," tutur Wee.

Upaya pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dinilai masih menghadapi tantangan karena terbatasnya ruang untuk menaikkan defisit anggaran. Walaupun sejak September tahun lalu sudah terdapat 13 paket kebijakan yang dikeluarkan.

Salah satu kebijakan andalan dalam jangka pendek adalah program amnesti pajak yang ditargetkan dapat menarik dana repatriasi hingga Rp1000 triliun atau sekitar US$ 75 miliar. Selain untuk meningkatkan penerimaan negara dan membiayai proyek infrastruktur, keberhasilan program amnesti pajak juga sekaligus akan memperbaiki kredibilitas fiskal pemerintah.

Jika berhasil, Wee menilai peringkat utang Indonesia dapat naik ke level layak investasi, investment grade dari Standard & Poor's. Hal itu juga dapat menjaga daya tahan rupiah terhadap terpaan volatilitas global dan kenaikan suku bunga AS.