Pertemuan Indonesia, Filipina, dan Malaysia Akan Bahas Isu Marawi



( 2017-06-21 02:49:21 )

Indonesia, Filipina, dan Malaysia akan mengadakan pertemuan trilateral yang bertempat di Manila, pada 22 Juni 2017. Agenda utama pertemuan itu akan membahas isu keamanan dan terorisme di kawasan tiga negara. Kabar itu telah disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri RI dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa.
Agenda itu merupakan edisi kedua pertemuan trilateral antara ketiga negara tersebut. Jilid pertama sempat dilaksanakan di Yogyakarta pada 5 Mei 2016. Agenda utama pada pertemuan lalu membahas isu keamanan maritim di kawasan tiga negara.
Kini, isu yang diangkat pada pertemuan trilateral tersebut adalah mengenai isu keamanan dan terorisme. Urgensi diangkatnya isu itu adalah terkait situasi pertempuran di Marawi, Provinsi Lanao del Sur, Mindanao, Filipina selatan.
"Pertemuan itu akan dihadiri oleh Menteri Luar Negeri, Panglima Angkatan Bersenjata, Kepala Kepolisian, badan penanggulangan atau kontra terorisme, dan badan intelijen dari masing-masing negara. Mereka akan membahas tentang perkembangan situasi di Filipina selatan, Marawi salah satunya, dan dampaknya terhadap kawasan tiga negara," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir.
Poin pembahasan dalam pertemuan tersebut difokuskan pada tiga aspek. Pertama adalah pertukaran informasi tentang kondisi terkini, tantangan, hambatan, dan potensi kerjasama terkait situasi di Marawi. Kedua, ketiga negara akan menyampaikan tentang masalah terorisme yang tumbuh di kawasannya menggunakan perspektif kewilayahan masing-masing. Ketiga, pertemuan trilateral itu akan membahas prospek jangka panjang kooperasi tiga negara untuk melakukan pencegahan tumbuhnya terorisme, radikalisme, dan ekstermisme di kawasan masing-masing. Khususnya dalam konteks kontrol perbatasan, pertukaran intelijen, dan kooperasi penegakan hukum.
Bukan hanya pada pemberantasannya saja atau berfokus pada law enforcement approach, menurut Arrmantha,terdapat juga aspek pencegahan. Indonesia menekankan pada aspek soft power approach, yakni dengan penguatan kapasitas sosial masyarakat serta pemberdayaan ekonomi.
Pertemuan trilateral di Manila pada 22 Juni 2017 nanti masih merupakan taraf diskusi antara perwakilan masing-masing negara, khususnya untuk penyelarasan pandangan terkait isu keamanan dan terorisme di kawasan Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Sedangkan untuk kebijakan yang konkret untuk isu keamanan dan terorisme di tahun-tahun ke depan, baru dapat dirancang setelah pertemuan trilateral di Manila nanti, menggunakan hasil pembahasan dari masing-masing perwakilan negara.
“Mekanismenya sama seperti pertemuan trilateral di Yogyakarta Mei 2016 lalu. Isunya dibahas terlebih dahulu oleh masing-masing negara, barulah dibuat kebijakan konkretnya, berupa prosedur operasi standar misalnya. Pertemuan di Manila nanti juga sama. Namun prediksinya, kebijakan konkret untuk isu terorisme dapat dibentuk lebih cepat ketimbang kebijakan konkret isu keamanan maritim tahun lalu. Dulu kita mulai dari nol. Tapi sekarang, pasca-trilateral di Yogyakarta, kita sudah punya landasannya," jelas Iqbal.
Pihak Kemlu menyampaikan bahwa pertemuan trilateral nanti mampu menghasilkan hasil luaran yang beragam. Mulai dari kebijakan yang bersifat pencegahan dengan pendakatan pemberdayaan hingga keterlibatan otoritas penegakan hukum maupun angkatan bersenjata masing-masing negara untuk membantu isu terorisme di tiga kawasan.
"Namun lagi, kebijakan itu harus memperhatikan konstitusi. Kita sangat menekankan agar kebijakan yang diproduksi dari pertemuan trilateral nanti tetap menghargai konstitusi dari masing-masing negara," tambah Arrmanatha.
Indonesia menjadi inisiator pertemuan trilateral (tiga negara) antara Indonesia, Malaysia dan Filipina di Gedung Agung Yogyakarta pada 5 Mei 2016 lalu. Pertemuan itu melahirkan Joint Declaration dengan empat poin kesepakatan.
Kesepakatan pertama adalah dengan adanya Joint Coordinated Patrol antar tiga negara. Namun masih dibahas secara detail oleh masing-masing panglima tentara dalam waktu dekat. Kedua, masing-masing negara akan memberikan bantuan segera jika ada seseorang atau kapal yang mengalami distressed atau membutuhkan bantuan. Ketiga, tiga negara bersepakat membuat National Vocal Point untuk melakukan sharing informasi secara cepat. Terakhir, membuat hotline untuk mempercepat koordinasi dalam merespons kondisi darurat.
Menlu Retno mengatakan pertemuan ini dilakukan karena wilayah perairan di antara tiga negara itu, memegang satu posisi strategis dan penting bagi ekonomi ketiga negara. Namun menurut Retno, wilayah itu memiliki beberapa tantangan, di antaranya aksi perompakan bersenjata, kejahatan transnasional, terorisme di kawasan tersebut. Tantangan itu coba dihadapi dengan pertemuan tiga negara.
Jika wilayah itu memiliki posisi strategis dan penting. Walaupun wilayah itu mendatangkan tantangan yang ada. Menurut Retno pertemuan itu berjalan konstruktif dan terbuka, sehingga siap menghadapi tantangan tersebut.
Pada 2017, tiga negara juga sudah meluncurkan Maritime Command Centre, sebagai pusat komando keamanan maritim di kawasan perairan Indonesia, Malaysia, dan Filipina.