Waspada Risiko Gagal Bayar Kredit Sektor Infastruktur



( 2017-10-19 05:03:15 )

Dalam 3 tahun terakhir ini tren perkembangan di sektor infrastruktur menunjukan kenaikan yang cukup signifikan, oleh karena itu perbankan diharapkan dapat lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit ke sektor infrastruktur. Dibutuhkan mitigasi risiko lebih lanjut apabila ada rencana meningkatkan plafon kredit pada sektor tersebut.

Sektor infrastruktur dinilai memiliki risiko kredit bermasalah yang dapat menyulitkan manajemen perbankan, meskipun proyek infrastruktur dijamin oleh pemerintah. Apalagi, kemajuan perekonomian masih stagnan di level 5 persen dan penerimaan pajak pun masih kecil. Sejumlah pihak juga mulai mengkritisi agar pemerintah meninjau kembali proyek infrastruktur seperti proyek listrik 35.000 MW.

Eric Sugandi sebagai Kepala Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness (SIGC) menyatakan bank yang menyalurkan kredit ke infrastruktur harus memperhitungkan dengan cermat risiko gagal bayar di sektor tersebut. "Sektor infrastruktur memang ada risiko default-nya. Misalnya kalau mangkrak, tidak bisa break event, atau kesulitan financing karena salah satu pihak dalam konsorsium tidak berkomitmen. NPL (non performing loan) di sektor ini pun relatif lebih tinggi dibanding sektor-sektor lain," katanya kepada Bisnis, pada Selasa (18/10/2017).

Risiko mangkrak dan menjadi NPL ada di proyek-proyek yang dibiayai pemerintah. Dia mencontohkan, proyek kereta cepat Jakarta - Bandung serta proyek monorail di Jakarta. Selain pertimbangan risiko gagal bayar yang harus dicermati, Eric juga menekankan bank perlu memperhatikan risiko lamanya waktu untuk mencapai break event point di sektor infrastruktur. "Dengan waktu yang relatif lama untuk mencapai BEP di sektor infrastruktur, maka perkiraan future cash flows dari debitur juga mesti diperhatikan dengan cermat," ucapnya.

Penyaluran kredit perbankan ke sektor infrastruktur memang meningkat cepat sejalan dengan masifnya pembangunan. Kredit yang disalurkan ke sektor infrastruktur ada kenaikan cukup signifikan. Hal itu tergambar dari data Statistik Perbankan Indonesia (SPI). Penyaluran kredit bank umum untuk lapangan usaha listrik, gas dan air per 2016 mencapai Rp 135,48 triliun, tumbuh 66,9 persen dibandingkan dengan 2014 sebesar Rp 81,1 triliun.

Adapun, per Juli tahun ini, pertumbuhannya tercatat sebesar 11,1 persen secara year on year (yoy) dari Rp 115,81 triliun menjadi Rp 128,76 triliun. Uraiannya lainnya, penyaluran pembiayaan ke lapangan usaha konstruksi juga tumbuh 45 persen dari Rp 147,26 triliun pada 2014 menjadi Rp 214,75 pada akhir tahun lalu. Sampai Juli 2017, pembiayaannya telah tumbu 24,2 persen menjadi Rp 238,16 triliun.

Penyaluran kredit ke sektor infrastruktur diakui menjadi pengerek pertumbuhan pembiayaan perbankan, terutama bank-bank bermodal besar. Salah satunya PT Bank Central Asia Tbk. yang menyatakan plafon pembiayaan sindikasi ke proyek infrastruktur akan terus ditingkatkan sampai akhir tahun.

Sekretaris Perusahaan BCA Jan Hendra menuturkan, dalam tiga bulan ke depan, pihaknya berharap ada kenaikan sindikasi sebesar Rp 6 triliun dari sejumlah proyek yang diikuti. "Plafon kredit sindikasi yang diikuti oleh BCA Rp 8,35 triliun sampai saat ini. Diharapkan akan meningkat ke Rp 14,35 triliun pada akhir tahun, sebagian besar ada di infrastruktur," tuturnya pada Rabu (18/10/2017).

Sebagai informasi, BCA termasuk dalam salah satu bank yang akan ikut dalam persekutuan proyek kereta ringan (LRT) Jabodetabek. Financial closing proyek tersebut ditargetkan pada November mendatang. Pada kesempatan sebelumnya, Achmad Baiquni selaku Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. mengatakan porsi kredit infrastruktur perseroan sekitar 24 persen dari total kredit.

Dari total porsi kredit infrastruktur itu, sebanyak 26 persen kepada jalan tol, 24 persen kepada pembangkit listrik, dan sisanya disalurkan ke sektor telekomunikasi sampai pelabuhan. Sampai September 2017, bank berkode emiten BBNI itu pun mencatatkan pertumbuhan kredit sebesar 13,3 persen menjadi Rp 421,41 triliun dibandingkan dengan periode sama pada tahun lalu.

Menurut Baiquni, terkait dengan kredit bermasalah belum ada kemajuan pada sektor infrastruktur. Secara keseluruhan, rasio kredit bermasalah secara gross perseroan sebesar 2,8 persen. “Kalau, kami penyaluran kredit infrastruktur kan paling ke jalan tol dan PLN [PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)], sejauh ini tidak ada masalah. Sempat ada satu jalan tol, tetapi tidak masalah lagi karena kan sudah di take over,” ujarnya.