Harga Minyak Naik Dibayangi Kekhawatiran Pasokan Libya dan Norwegia



( 2018-07-11 02:57:24 )

Harga minyak mentah dunia naik didukung kondisi pasar saham yang lebih baik dari perkiraan dan kekhawatiran pasokan di Norwegia dan Libya. Kenaikan terjadi meskipun dipengaruhi indikasi jika Amerika Serikat (AS) mempertimbangkan permintaan keringanan sanksi minyak bagi Iran.

Melansir laman Reuters, pada hari Rabu (11.07.2018), harga minyak mentah berjangka Brent naik 79 sen menjadi USD 78,86 per barel. Sebelumnya, harga patokan minyak global mencapai sesi tertinggi di USD 79,51 per barel.

Adapun harga minyak mentah AS naik 26 sen menjadi USD 74,11, setelah mencapai posisi tertinggi USD 74,70 per barel.

Persediaan minyak mentah AS turun pada minggu lalu sebesar 6,8 juta barel, menurut data dari kelompok industri American Petroleum Institute. Penurunan itu lebih besar dari yang diperkirakan, menyebabkan harga minyak mentah berjangka naik saat penutupan.

Analis yang disurvei oleh Reuters meramalkan bahwa stok minyak mentah turun rata-rata 4,5 juta barel.

"Kenaikan minyak mentah pada hari Selasa sebagian didorong oleh kondisi makro ekonomi yang positif dari penguatan ekuitas global," kata Jim Ritterbusch, presiden Ritterbusch and Associates dalam sebuah catatannya.

Ketiga indeks saham utama naik pada hari Selasa. Bahkan indeks S & P 500 membukukan penutupan tertinggi sejak tanggal 1 Februari.

Kedua patokan harga minyak mentah semapat turun dari posisi tertinggi dalam empat tahun, setelah Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan jika negaranya akan mempertimbangkan permintaan dari beberapa negara untuk membebaskan sanksi terhadap minyak Iran.

Bulan lalu, Amerika Serikat mengatakan ingin mengurangi ekspor minyak dari produsen terbesar kelima dunia Iran pada November.

Namun, harga minyak Brent terdukung langkah pemogokan oleh ratusan pekerja di rig minyak dan gas lepas pantai Norwegia, yang mengarah ke penutupan satu ladang minyak yang dioperasikan oleh Shell.

Sementara itu, anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak, yang dipimpin oleh Arab Saudi, telah sepakat untuk meningkatkan output.

Namun, ada kekhawatiran bahwa hal itu akan menggunakan kapasitas cadangan global dan membuat pasar rentan terhadap penurunan produksi yang lebih jauh atau tak terduga.